PEMBOROSAN KATA atau pleonasme adalah salah satu majas dalam bahasa Indonesia. Majas adalah cara melukiskan sesuatu dengan jalan menyamakannya dengan sesuatu yang lain.
Pleonasme adalah majas yang menambahkan keterangan pada pernyataan yang sudah jelas atau menambahkan keterangan yang sebenarnya tidak dibutuhkan. (Foto: Asnawin)
-------
Pemborosan Kata
-----
Pemborosan kata atau pleonasme adalah salah satu majas dalam bahasa Indonesia. Majas adalah cara melukiskan sesuatu dengan jalan menyamakannya dengan sesuatu yang lain.
Pleonasme adalah majas yang menambahkan keterangan pada pernyataan yang sudah jelas atau menambahkan keterangan yang sebenarnya tidak dibutuhkan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan pleonasme sebagai "pemakaian kata-kata yang lebih dari apa yang diperlukan."
Judul berita "Pertahankan 16 Orang Pemain" merupakan salah satu contoh pemborosan kata atau pleonasme, karena "pemain" sudah pasti "orang". Artinya, jika kata "orang" dihilangkan, maka judul beritanya menjadi lebih efektif dan efisien, dan tidak mengubah makna.
Judul "Pertahankan 16 Pemain", tentu saja lebih efektif dan lebih efisien (serta tanpa mengurangi atau menghilangkan makna) dibandingkan judul "Pertahankan 16 Orang Pemain".
Menghilangkan atau membuang kata-kata yang tidak perlu ini, sangat dianjurkan dalam dunia jurnalistik, karena bahasa jurnalistik menggunakan prinsip ekonomi kata.
Sebagai bagian dari karya jurnalistik, bahasa berita memiliki sedikit perbedaan dengan Bahasa Indonesia pada umumnya. Bahasa ini dikenal dengan sebutan Bahasa Indonesia Ragam Jurnalistik.
Setidaknya ada empat karakteristik yang menyebabkan lahirnya Bahasa Indonesia Ragam Jurnalistik (Bachtiar, 2000).
Pertama, pekerjaan wartawan dan redaksi selalu berpacu dengan waktu.
Kedua, panjang tulisan atau laporan jurnalistik dibatasi oleh halaman media cetak, durasi siaran media elektronik, atau lebar layar monitor pada media internet.
Ketiga, jumlah media di Indonesia kini berjumlah ribuan sehingga persaingan antar-media kian ketat. Hanya laporan yang enak dibaca atau enak didengar yang akan diakses khalayak.
Keempat, tulisan jurnalistik berbahan baku fakta, sehingga wartawan tak perlu menulis berita dengan bahasa yang muluk-muluk atau mendayu-dayu seperti pada cerita fiksi atau karya sastra.
Asnawin Aminuddin
Gowa, 5 Januari 2015
Komentar